
Salah satu tradisi yang melekat di masyarakat Indoenesia -dan mungkin di beberapa negara berpenduduk Muslim, adalah Talqin Mayit setelah prosesi pemakaman. Tradisi ini selalu kita jumpai ketika selesai memakamkan orang yang telah meninggal dengan membaca bacaan tertentu dengan tujuan memberikan bimbingan kepada mayit agar mudah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Hal ini dilakukan atas keyakinan bahwa orang yang sudah meninggal akan mengalami kehidupan di alam kubur atau yang dikenal dengan alam barzakh dan di fase, orang yang meninggal akan merasakan balasan dari amal perbuatannya selama di dunia dan mampu mendengar ucapan orang yang masih hidup serta bisa merasakan manfaat dari mereka.
Talqin Mayit merupakan gabungan dari dua kata yaitu “Talqin” yang berarti membimbing, dan “Mayit” yang berarti orang yang sudah meninggal. Meskipun kata “Mayit” juga diartikan sebagai orang yang sedang mengalami Sakaratul Maut (kondisi kritis seseorang menjelang kematian atau selama proses berpisahnya ruh dari badan). Dari dua gabungan kata tersebut, maka talqin mayit adalah serangkaian kegiatan untuk mengingatkan dan membimbing orang yang sudah dimakamkan agar tersadar dengan keadaan yang dialaminya dan mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar Nakir serta mendoakan untuk keteguhan Iman dan kelancaran dalam menjawab.
Hukum Talqin Mayit dan Dalilnya
Di dalam kitab I’anah al-Thalibin, jilid II, halaman 158-160 disebutkan bahwa talqin mayit setelah prosesi pemakaman hukumnya adalah sunnah (dianjurkan).
(تلقين بالغ، ولو شهيدا) كما اقتضاه إطلاقهم – خلافا للزركشي (بعد) تمام (دفن) فيقعد رجل قبالة وجهه ويقول: يا عبد الله ابن أمة الله: اذكر العهد الذي خرجت عليه من الدنيا: شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا رسول الله، وأن الجنة حق، وأن النار حق، وأن البعث حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأنك رضيت بالله ربا، وبالاسلام دينا، وبمحمد (ص) نبيا، وبالقرآن إماما، وبالكعبة قبلة، وبالمؤمنين إخوانا. ربي الله، لا إله إلا هو، عليه توكلت، وهو رب العرش العظيم. (قوله: وتلقين بالغ) معطوف على أن يلقن أيضا. أي ويندب تلقين بالغ الخ، وذلك لقوله تعالى: * (وذكر فإن الذكرى تنفع المؤمنين) وأحوج ما يكون العبد إلى التذكير في هذه الحالة
Dianjrukan mentalqin mayit orang yang baligh setelah sempurnanya prosesi pemakaman. Maka seorang laki-laki duduk di depan wajah si mayit dan berkata: “Wahai hamba Allah putra dari hamba wanita Allah, sebutkan janji yang kamu bawa saat keluar dari dunia yaitu bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya surga adalah nyata, sesungguhnya neraka adalah nyata, sesungguhnya kiamat akan segera tiba dengan pasti, sesungguhnya Allah membangkitkan orang-orang yang ada di dalam kubur. Dan engkau Ridha bahwa Allah adalah Tuhan dan Islam sebagai agama, Nabi Muhammad sebagai Nabi, Al-Qur’an sebagai penuntun, Ka’bah sebagai kiblat, orang-orang mukmin sebagai saudara. Tuhanku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Dia, kepada-Nya kami bertawakal, dan Dia adalah Tuhan nya Arsy yang Maha Agung”. Anjuran talqin ini berdasarkan Firman Allah Q.S. Al-Dzariyat: 55 yang artinya: “dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman”. Dan keadaan yang sangat membutuhkan pengingat bagi seorang hamba adalah pada saat ini (ketika akan menghadapi ujian Malaikat Munkar dan Nakir).
Di dalam kitab I’anah di atas telah disebutkan satu dalil kesunnahan melakukan talqin mayit adalah Firman Allah Swt. QS. Al-Dzariyat: 55 dan sesuai dengan tujuan talqin mayit yaitu untuk mengingatkan serta memberi bimbingan kepada orang yang sudah meninggal sehingga talqin mayit masuk dalam keumuman anjuran ayat tersebut.
Imam Abi Bakar Muhammad Abdullah bin Al-Arabi Al-Maliki yang populer dengan sebutan Ibn al-Arabi (w. 543 H.) menegaskan dalam kitab nya, Al-Masalik fi Syarh Muwattha’ Malik, jilid III, halaman 520.
فهذا أدخل الميت قبره، فإنّه يستحبُّ تلقينه في تلك السَّاعة، وهو مستحبٌّ، وهو فعلُ أهل المدينة والصالحين والأخيار؛ لأنّه مطابِقٌ لقوله تعالى: {وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ} وأحوج ما يكون العبد إلى التّذكير بالله تعالى عند تغيّر الحال وخروج الرُّوح وعند سؤال الملك؛ لأنّه يخاف عند ذلك أنّ يختلسه الشّيطان فَيُذَكَّر بالله تعالى، ولقوله: “لَقِّنُوا أَمْوَاتَكُمْ لَا إِلَهَ إِلا الله”.
Maka mayit dimasukkan ke dalam kuburannya, maka dianjurkan mentalqin mayit pada saat itu. Talqin mayit setelah prosesi pemakaman adalah tradisi penduduk kota Madinah dan orang-orang shalih. Tradisi ini sesuai dengan Firman Allah: “dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman. Ada tiga keadaan seorang hamba sangat membutuhkan pengingat, (1) ketika berubahnya keadaan (seperti mengalami musibah, dll.), (2) ketika keluarnya ruh dari badan (sakaratul maut), dan (3) ketika mendapatkan pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir, karena pada saat menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir khawatir terperangkap tipu daya setan. Oleh karenanya sangat penting untuk diingatkan kepada Allah Swt. Kesunnahan talqin ini juga berdasarkan Sabda Nabi Muhammad Saw. HR. Imam Muslim yang artinya “Bimbinglah orang-orang yang meninggal diantara kalian dengan kalimat Tauhid”.
Keterangan di atas bisa diperkuat dengan redaksi dalam kitab Al-Tadzkirah bi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah, karya Imam Al-Qurthubi (w. 671 H.), halaman 333
وروي «عن سفيان الثوري أنه قال: إذا سئل الميت: من ربك؟ تراءى له الشيطان في صورة فيشير إلى نفسه: إني أنا ربك، قال أبو عبد الله: فهذه فتنة عظيمة. ولذلك كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يدعو بالثبات، فيقول: اللهم ثبت عند أحدهما منطقه. وافتح أبواب السماء لروحه» فلو لم يكن للشيطان هناك سبيل ما كان ليدعو له رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجبره من الشيطان
Diriwayatkan dari Imam Sufyan al-Tsauri, dia berkata: Ketika mayit ditanya, siapa Tuhanmu? maka setan menampakkan diri kepada mayit tersebut dan menunjuk dirinya seraya setan berkata: sesungguhnya aku adalah Tuhanmu”. Imam Abdullah berkata: Ini adalah ujian yang berat. Oleh karenanya, Rasulullah Saw. selalu mendoakan mayit agar diteguhkan imannya dengan redaksi: “Ya Allah berikan si mayit ini kemampuan menjawab dan bukalah pintu langit untuk ruhnya.
Di dalam kitab Asna al-Mathalib karya Syaikh al-Islam Zakariya Al-Anshari (w. 926 H.), jilid I, halaman 329 disebutkan bahwa talqin dilakukan setelah pemakaman berdasarkan hadits.
وَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ» دَلِيلٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقِيقَةَ الْمَيِّتِ مَنْ مَاتَ أَمَّا قَبْلَ الْمَوْتِ أَيْ، وَهُوَ مَا جَرَى عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ كَمَا مَرَّ فَمَجَازٌ.
Adapun sabda Nabi Saw. bimbinglah orang-orang yang mati diantara kalian dengan kalimat Tauhid. Hadits ini menjadi dalil kesunnahan talqin setelah prosesi pemakaman, karena arti sesungguhnya kata “Al-Mauta” adalah orang-orang yang sudah meninggal. Sedangkan orang-orang yang mendekati kematian bisa disebut dengan “al-Mauta” secara majaz.
Bahkan dalam kitab Syarh Sunan Abi Daud karya Syaikh Badruddin Al-Aini, jilid VI, halaman 35 disebutkan :
واستدل الشافعي بظاهر الحديث على أن التلقين بعد الدفن
Dan Imam Syafi’i menjadikan hadits tersebut sebagai dalil bahwa talqin (juga) dilakukan setelah prosesi pemakaman.
Beberapa referensi di atas memberikan ketagasan bahwa talqin mayit setelah prosesi pemakaman hukumnya adalah Sunnah. Anjuran ini bukan hasil pemikiran instan tanpa dasar, akan tetapi telah melalui proses mendalam dengan meneliti beberapa sumber hukum baik dari Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan talqin mayit setelah pemakanan ini juga pernah menjadi tradisi di masa salaf sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Al-Arabi al-Maliki. Dengan demikian, fakta ini akan menepis anggapan dan statemen nakal beberapa kelompok yang menyatakan bahwa Talqin setelah pemakaman adalah suatu kegiatan yang diada-adakan dan tidak memiliki dasar sehingga konsekuensinya adalah bid’ah yang tercela.
Meluruskan Atsar Sahabat Umamah Al-Bahili dan Sanad Hadits tentang Talqin yang Digugat kebasahannya baik secara Matan atau sebagai Amaliyah
Ada beberapa kelompok yang dengan keras mengecam bahwa atsar sahabat Umamah dan hadits tentang redaksi talqin adalah dhaif dan tidak boleh diamalkan. Statemen ini cukup nakal untuk didengar karena statemen ini muncul tanpa mempertimbangkan adanya referensi lain secara cara-cara berhujjah dalam penggunaan hadits dhaif. Redaksinya sebagaimana berikut:
وَرَدَ بِهِ الْخَبَرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّبَرَانِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ “إذَا أَنَا مِتُّ فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ “إذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمْ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ يَا فُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيبُ ثُمَّ يَقُولُ يَا فُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا ثُمَّ يَقُولُ يَا فُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَإِنَّهُ يَقُولُ أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللَّهُ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْت عَلَيْهِ مِنْ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّك رَضِيت بِاَللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِالْقُرْآنِ إمَامًا فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُولُ انْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ” قَالَ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ قَالَ يَنْسُبُهُ إلَى أُمِّهِ حَوَّاءَ يَا فُلَانُ بْنُ حَوَّاءَ” وَإِسْنَادُهُ صَالِحٌ وَقَدْ قَوَّاهُ الضِّيَاءُ فِي أَحْكَامِهِ
Ada hadits dari Baginda Nabi Saw. yang diriwayatkan Imam al-Thabrani dari Sahabat Umamah dia berkata: Bila aku mati, maka Lakukan untuk diriku sebagaimana perintah Rasulullah Saw. dalam sabdanya: “Apabila salah seorang diantara kalian meninggal, maka kuburannya dengan tanah, lalu berdirilah salah seorang diantara kalian di sisi kepala si mayit dan ucapkan kepadanya: “Wahai Fulan bin Fulanah, maka dia (mayit Fulan) mendengarnya namun tidak bisa menjawab. Kemudian panggil lagi “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka dia akan bangkit untuk duduk. Kemudian panggil kembali “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka dia berkata: “Beri kami bimbingan, semoga Allah merahmati mu” tetapi kalian tidak mendengarnya. Kemudian kamu ucapkan kepadanya (Mayit) sebutkan janji yang pernah kamu bawa saat keluar ke alam dunia yaitu bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah……..” Sanad hadits ini adalah baik dan telah dikuatkan oleh Imam Ibn Dhiya’.
Hadits ini memang masih diperselisihkan oleh beberapa Ulama, ada yang menyatakan bahwa hadits ini dhaif dan sebagian Ulama tidak menetapkan status derajatnya akan tetapi memberikan penilaian pada sanadnya. Sebagaimana dalam redaksi di atas disebutkan sanadnya adalah baik (Salih). Dan sanad Sahih bila dikembalikan pada Ulum al-Hadits akan memiliki kualitas minimal adalah Hasan. Hal ini sebagaimana dalam Kitab al-Manhal al-Latif, halaman 62
ألقاب تشمل الصحيح والحسن: هناك ألفاظ مستعملة عند أهل الحديث في الخبر المقبول، وهي قولهم : جيد، قوي، صالح، ثابت، مقبول، مجود. وهذه الألفاط قد يعبر بها عن الصحة إلا أنهم قالوا أن المحقق من المحدثين إذا حكم على حديث ما فإنه لا يعدل عن التعبير بصحيح إلى التعبير بجيد أو نحوه إلا لنكتة كأن لم يتحقق مثلا من تمام صحته ، فالوصف حينئذ بجيد وقوي أنزل رتبة من الوصف بصحيح .
Beberapa julukan yang mencakup kualitas shahih dan hasan. Ada beberapa redaksi yang digunakan oleh ahli hadits mengenai hadits yang bisa diterima, yaitu Jayyid (bagus), Qawiy (kuat), Salih (baik), Tsabit (tetap), Maqbul (diterima), dan Mujawwad (diperbaiki). Beragam redaksi ini terkadang digunakan untuk mengungkapkan kesahihan hadits akan tetapi mereka, para Muhaqqiq hadits ketika menetapkan hadits apapun maka tidak akan beralih dari ungkapan sahih menuju ungkapan Jayyid, atau lainnya kecuali bila ada faktor tertentu, seperti kurang kuat dalam memenuhi kesempurnaan kesahihan, maka mereka beralih dengan menggunakan Jayyid, Qawiy, dll.
Jika mengikuti paparan di atas, maka hadits tentang anjuran talqin mayit setelah prosesi pemakaman padat dijadikan hujjah dan diamalkan. Hal ini karena kualitas hadits tidak sampai pada tingkatan dhaif dan minimal berstatus hasan.
Bila mengikuti pendapat yang mendhaifkan hadits di atas, maka tetap bisa diamalkan sebab meskipun dhaif namun didukung oleh dalil shahih tersebut di atas. Spesifik pada hadits Sahabat Umamah meskipun dinilai dhaif tapi tetap bisa dijadikan hujjah untuk melegitimasi kebolehan talqin dan bisa diamalkan karena talqin mayit termasuk fadhail al-amal (kegiatan yang memiliki keutamaan) yaitu tadzkirah (mengingatkan) dan membimbing (talqin sebagaimana keumuman hadits Laqqinu). Terkait kebolehan mengamalkan hadits dhaif sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar, halaman 6
قال العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويُستحبّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعاً
Para Ulama dari kalangan pakar Hadits, pakar fikih, dan lainnya berkata: Boleh bahkan dianjurkan beramal (melakukan kegiatan) dalam perkara yang memiliki kebaikan, motivasi, menakut-nakuti dari perbuatan buruk dengan bersandar pada hadits dhaif selama tidak maudhu’.
Apalagi hadits tersebut diterima oleh banyak Ulama sehingga meskipun statusnya dhaif namun tetap bisa dijadikan hujjah, terlebih ada Ulama yang tidak memasukkan pada klasifikasi hadits dhaif. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa, jilid 24, halaman 298 menyatakan bahwa talqin mayit setelah pemakaman juga diamalkan oleh beberapa sahabat seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Asqa’.
تلقينه بعد موته ليس واجباً بالإجماع، ولا كان من عمل المسلمين المشهور بينهم على عهد النبي وخلفائه، بل ذلك مأثور عن طائفة من الصحابة كأبي أمامة وواثلة بن الأسقع
Talqin sesudah pemakaman hukumnya tidak wajib berdasarkan konsensus Ulama, bukan pula merupakan amaliyah orang-orang Islam di masa Nabi dan para khalifahnya, akan tetapi ada beberapa shahabat yang mengamalkan seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Asqa’.
Kesimpulan
Talqin mayit setelah prosesi pemakaman hukumnya sunnah dan memiliki dalil (1) Al-Qur’an surat Al-Dzariyah: 55, (2) HR. Muslim, (3) HR. al-Thabrani, (4) Atsar Sahabat, (5) tradisi salaf al-Salih yaitu tradisi penduduk Madinah.